|
SERTIFIKAT
HIDUP*
Judul :
Puncak Makrifat Jawa
Pengarang : Muhaji
Fikriono
Penerbit
: Noura Books
Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman : xiii + 474.;
15 X 23 cm.
Pengantar : Radhar Panca Dahana
( Budayawan )
Tuhan
menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepadaNya. Namun, apakah
manusia telah melaksanakan tugas mulia tersebut. Atau malah sebaliknya, yakni
manusia terlelap dalam kehidupan dunia yang dianggapnya dapat mengantarkan kemuliaan
dihadapanNya. Sehingga rumah megah, mobil mewah, pangkat dan drajat merupakan
ukuran dalam memaknai keberhasilan dalam mengarungi perjalanan hidup.
Namun
hal itu, tidak bagi Ki Ageng Suryomentaraman, beliau dengan kesadaran penuh
mengajukan permohonan diri berhenti menjadi pangeran kepada Sultan Hamengku
Buwono VII. Meski awalnya ditolak namun akhirnya dikabulkan juga ( hal. 10 ).
Berawal dari itulah pengembaraan batin belaiu di mulai. Cerita – cerita klasik
Jawa yang menggambarkan spirit hidup orang jawa menjadi bahan kajiannya.
Seperti Dewa Ruci ( hal. 19 ), Syeh Siti Jenar / Wali kesepuluh ( hal. 61 ),
dan R. Ng. Ranggawarsito ( hal. 80 ).
Perjalanan
hidup orang Jawa yang memadukan kearifan budaya lokal dengan Islam ternyata banyak menginspirasi orang-
orang asing untuk mengkajinya. Dan inilah salah satu alasan mengapa Muhaji
Fikriono memberanikan diri menulis buku ini sekaligus sebagai pembanding buku
terdahulunya Al Hikam untuk Semua.
Meski berlatar belakang anak santri, persoalan yang diulasannya sangat jelas
ditambah lagi dengan foot note (
cacatan kaki ) sebagai penunjang ulasan.
Dibandingkan
dengan buku-buku lain yang sama – sama mengulas falsafah orang Jawa buku Puncak Makrifat Jawa ini ditutup dengan
tujuh bait agung dari Ki Ageng Suryomentaraman yang berisi ajakan kepada
manusia untuk biso rumongso bukan rumongso biso.( hal. 412 – 415 ). Selain
itu, buku ini juga dapat pengantar kepada mereka yang selama menerka terka
tentang Islam kejawen yang banyak dianut oleh sebagian masyarakat Jawa.
Sertifikat Hidup
Hidup hakikatnya sebuah perjalanan.
Barang siapa yang merasa dirinya hidup maka dia akan melakukan hal yang terbaik
untuknya. (hal. 234 ). Namun masalahnya dapatkah manusia menghayati orang lain
yang bertolak belakang dengan kehidupannya. Seperti orang kaya dapat menghayati
kehidupan orang miskin atau sebalikinya ( hal.266). Ternyata itu tidak mudah.
Bersengkokolan pikiran dengan kehendak, hasrat
atau keinginan pada diri manusia mengakibatkan kesulitan bagi manusia untuk
menetapkan baik dan buruknya perbuatan manusia ( hal. 264 ).
Kejadian – kejadian yang dialami
manusia dapat menjadi pengalaman hidup. Baik itu berupa kebahagian atau penderitaan.
Pengalaman yang menderitakan akan melekat kuat pada sanubari dibanding
pengalaman yang menyenangkan ( hal. 306 ). Untuk menjaga kesimbangan hidup agar
kebahagian atau penderitaan yang dialami
manusia tidak sampai berlaku anarkis
pada dirinya sendiri perlu diterapkan asas nem
sa ( 6 – se ). Yakni sakepenake (
senikmat-nikmatnya ), sabutuhe (sepenting-pentingnya
saja ) , saperlune ( seperlu-perlu
saja), sacukupe ( secukupnya saja ), samestine ( apa harusnya saja ) dan sabenere ( sebenar saja ) ( hal.332).
Marilah kita kembalikan diri kita
sebagai manusia yang merdeka ( Man born
is free )
dari
sifat- sifat yang menyebabkan kita jauh dari Sang Khaliq seperti rasa sombong,
ujub, kikir. Dan ingat segala sesuatu dalam hidup ini tidak ada yang baru ( * Abdul
Basyid, Kaliwungu Selatan ).